Lompat ke isi utama

Berita

Mendorong Keterwakilan Perempuan, dari Keterwakilan Deskriptif ke Substantif (Catatan evaluasi peran perempuan penyelenggara pemilu se Jawa Tengah)

Bulan April selalu menjadi bulan istimewa bagi perempuan Indonesia. Di bulan inilah diskursus tentang kesetaraan gender khususnya affirmative action diangkat secara massif dalam berbagai bentuk ekspresi misalnya seminar, rapat koordinasi,  kontent media sosial dll. Affirmative action dalam konteks kesetaraan gender dimaknai sebagai sebuah kebijakan yang memberikan ruang yang istimewa atau setara kepada perempuan untuk dapat bersaing dengan  laki-laki dalam menduduki posisi-posisi strategis di ranah publik. Di ruang publik sendiri terbelah dua pendapat yang berbeda terkait affirmative action, bagi sebagian kelompok penerapan affirmative action justru dianggap sebagai langkah untuk mendiskriminasikan perempuan karena kesadaran politik perempuan saat ini sudah cukup tinggi. Namun bagi pendukung affirmative action, meskipun dalam praktis demokrasi perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama, namun keterlibatan perempuan dalam mengakses ruang publik masih dilematis padahal populasi penduduk Indonesia masih didominasi oleh perempuan. Misalnya Rasio perbandingan untuk propinsi Jawa tengah jumlah penduduk laki-laki 17.212.455 dan perempuan 17.505.749. Oleh karena itu diperlukan regulasi dan sistem yang mendorong keterwakilan perempuan sebagai pengambil kebijakan. Sejarah affirmative action sendiri tidak bisa lepas dari disahkannya UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum khususnya Pasal 65 ayat 1 yang mewajibkan partai politik untuk memperhatikan kuota  keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penyusunan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota dalam tiap daerah pemilihan. Disusul selanjutnya UU No. 22 tahun 2007 dan UU Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu dan UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang mengatur tentang keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penyelenggara pemilu. Saat ini, setelah 18 tahun kebijakan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan berlaku, apakah kebijakan ini dipatuhi? Dalam konteks struktur kepengurusan partai politik dan proses pencalonan legislatif, hingga tahun 2021 belum semua partai politik mencantumkan aturan affirmasi keterwakilan perempuan dalam struktur kepengurusan dan proses pencalonan legislatif pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Dalam konteks pencalonan, pada pemilu 2019 semua partai politik telah memenuhi syarat keterwakilan 30% perempuan dalam penyusunan daftar calon legislatif pemilu serentak 2019. Namun pemenuhan tersebut sebagian belum berbasis pada kesadaran gender tetapi sebatas pemenuhan administrasi pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum. Begitupun merit sistem dimana politisi diberi kesempatan untuk memimpin berdasarkan kemampuan/prestasi belum menjadi spirit partai dalam proses pencalonan DPR, DPRD dan Kepala daerah. Hasil pemilu serentak 2019 keterpilihan legislator perempuan masih dibawah angka yang diharapkan. Di tingkat nasional 20,5% dengan terpilihnya 118 politisi perempuan dari total 575 anggota dewan terpilih. Sementara itu ditingkat Jawa Tengah terpilih  25 orang dari jumlah total 120 kursi dan tingkat lokal misalnya kota semarang 10 dari 50 kursi anggota dewan. Data yang menarik terlihat pada kuantitas perempuan yang terpilih pada gelaran Pilkada serentak 2020 di Jawa Tengah. Jumlah keterwakilan perempuan sebagai bakal calon kepala daerah naik tipis dalam Pilkada 2018 mencapai 8,85%  pada Pilkada 2020 menjadi 10,6%. Persentase perempuan yang terpilih cukup tinggi yaitu 11 perempuan dari 17 orang politisi perempuan yang mencalonkan diri menjadi Bupati/Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota. Secara presentase capaian ini melebihi kuota 30% perempuan. Akan tetapi tidak bisa dikesampingkan juga bahwa dalam kontestasi ini mereka berpasangan dengan calon bupati/wakil bupati/Walikota dan Wakil walikota yang notabene adalah laki-laki. Dinamika yang berbeda tergambarkan pada affirmative action bagi penyelenggara pemilu. Dari sisi regulasi KPU-Bawaslu telah mengadopsi aturan keterwakilan perempuan dalam Peraturan KPU dan Bawaslu. Akan tetapi sejak berlakunya UU No.2 Tahun 2007 Tentang penyelenggara pemilu, namun secara nasional hanya pemilu tahun 2009 tercapai keterwakilan perempuan 30% di KPU dan Bawaslu. Pada penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, tercatat hanya 20% perempuan di KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP. Di tingkat Jawa Tengah penyelenggara pemilu perempuan mencapai  28% yang berada di organ Komisi Pemilihan Umum. Sementara jumlah pengawas perempuan di jajaran Badan Pengawas Pemilu mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Pilkada 2015 baru mencapai angka 20% namun pada Pemilu serentak 2019 dan Pilkada 2020 naik menjadi 37%. Dari keterwakilan deskriptif menuju substantif Mengacu pada konsep keterwakilan perempuan menurut Hanna Fenichel Pitkin dalam  The Concept of Representation (1969), keterwakilan deskriptif adalah keterwakilan yang menghadirkan perempuan dalam konteks kehadiran, belum menyentuh pada representasi yang mendalam. Dalam konsep ini  parlemen seharusnya merefleksikan keterwakilan karakteristik pemilih ( laki-laki dan perempuan), komposisi keterwakilan seyogyanya proposional dengan jumlah yang diwakili.  Data kuantitatif yang telah didiskripsikan diatas adalah bentuk dari keterwakilan perempuan secara deskriptif. Berdasarkan hasil riset kandidasi perempuan di Jawa timur dan Sumatra Utara yang dilaksanakan oleh Universitas airlangga-Kemitraan-Australia Indonesia Partnership tahun 2011, profil dan latar belakang perempuan yang terlibat dalam pencalonan kepala daerah adalah sebagai berikut : Pertama, berasal dari struktur ekonomi politik menengah keatas yang memperoleh akses ekonomi politik yang lebih baik. Kedua, mempunyai pengalaman dibidang politik dan publik. Ketiga,pemain baru dalam kontestasi Pilkada. Keempat, perspektif gender belum muncul diawal kontestasi. Kesadaran dan perspektif gender baru muncul ditengah kandisasi. Keterwakilan substansif merupakan keterwakilan yang berkorelasi positif dengan lahirnya kebijakan politik yang berpihak pada perempuan. Harapan bahwa kehadiran perempuan di kancah politik tidak hanya untuk memenuhi affirmative prosedural, akan tetapi mampu mewarnai bahkan mengubah wajah produk kebijakan politik yang berpihak pada kepentingan perempuan dengan segala kebutuhan dan permasalahannya. Aplikasinya misalnya  calon kepala daerah perempuan memasukkan rencana kebijakan politik pembangunan dengan menjadikan perempuan sebagai bagian dari salah satu prioritas pembangunan didaerah dalam visi misi kepala daerah. Urgenitas isu perempuan dimasukkan dalam visi misi kepala daerah agar masuk dalam basis dan acuan penyusunan rencana pembangunan dengan berpedoman pada rancangan daerah serta memperhatikan rencana pembangunan jangka menengah nasional dan mudah dikontrol oleh publik. Keterwakilan legislator bertubuh perempuan tidak serta merta mewakili-memperjuangkan kepentingan-kebutuhan yang diwakilinya (warga perempuan). Oleh karena itu penting untuk dikawal bersama kinerja politik perempuan. Dalam konteks pengawasan pemilu, Bawaslu telah melakukan upaya-upaya ikhtiar dalam pencapaian angka ideal keterwakilan perempuan sebagai perwujudan kepastian hukum terhadap jaminan keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu. Implementasinya bisa terbaca dari komitmen untuk memilih pengawas perempuan yang dibuktikan dengan peningkatan data jumlah pengawas perempuan yang telah disampaikan diatas. Selain itu Bawaslu juga memfasilitasi dialog antara legislator perempuan dan organisasi masyarakat perempuan. Begitupun dalam perekrutan peserta sekolah kader pengawas partisiatif (SKPP) Bawaslu selalu memprioritaskan peserta perempuan. Dalam hal sosialisasi pengawasan partisipatif (soswatif), Bawaslu se Jawa Tengah misalnya telah melakukan soswatif sebanyak 101 kali pada rentang tahun 2019-2020. Kedepan menjelang pemilu serentak 2024, masih diperlukan komitmen bersama untuk mengawal affirmative action, sembari terus mendorong dialog dan publikasi yang mengarusutamakan isu perempuan dalam pemilu dan pilkada serentak 2024. Dalam konteks penyelenggara pemilu diperlukan komitmen untuk memperkuat dan memperluas keterlibatan perempuan dalam pemilu/penyelenggaraan/pengawasan/ pemantauan pemilu dengan melakukan kaderisasi aktifis perempuan, optimalisasi semangat  perempuan dukung perempuan (sisterhood), optimalisasi perempuan memahami tata kelembagaan dan mendorong keterwakilan 30% perempuan penyelenggara pemilu/pemilihan.   Editor : Humas Bawaslu Kota Semarang
Tag
Opini