Lompat ke isi utama

Berita

Merawat Demokrasi dengan Ilmu Pengetahuan

Demokrasi sebagai sebuah sistem mudah diabstraksikan namun terkadang susah untuk diaktualisasikan. Kira-kira begitulah narasi akhir-akhir ini yang selalu hadir di lingkungan sosial dan dalam kehidupan bernegara, entah persoalannya karena demokrasi merupakan sistem yang terlalu fleksibel atau karena nilainya yang memang susah untuk diterapkan. Sampai saat ini wacana tentang demokrasi masih menjadi perdebatan menarik yang mengisi ruang diskursus ilmu pengetahuan kita, mulai dari aspek teoritis hingga tatanan praksis. Terlebih di saat sekarang demokrasi sudah menjadi sistem yang dianut oleh beberapa negara di belahan dunia. Di tengah persaingan global dan ketatnya perkembangan zaman demokrasi sampai sekarang masih menjadi jalan terbaik untuk menawarkan bagaimana pola hidup bisa dikatakan harmonis, saling menjaga martabat, saling menghormati satu sama lain, tidak mendiskriminasi, serta menghargai kebebasan sebagai individu dan sesamanya. Selain itu juga sejarah sudah menyampaikan bagaimana demokrasi hadir di tengah-tengah masyarakat dan menjadi pintu menempuh kesejahteraan bersama di dalam suatu negara. Kira-kira sekitar abad ke-4 SM demokrasi dipraktekan oleh Athena sebagai sistem negara dengan konsensus bersama bahwa seluruh masyarakat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam membangun negara untuk mewujudkan cita-citanya. Hingga sekarang demokrasi menjadi satu-satunya sistem yang sudah banyak memberikan ruang kepada masyarakat untuk menerjemahkan apa itu keadilan, bagaimana kesetaraan, dan seperti apa kebebasan. John Lock, salah satu tokoh yang sangat familiar dalam ruang-ruang diskusi kita saat menyoal konsep demokrasi, gagasannya yang sering kita kutip adalah bagaimana “ demokrasi harus selalu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” Mewujudkan cita-cita demokrasi diatas tentu tidak mudah, apakah hadir dalam kompleksitas negara dengan berbagai persoalannya. Jelas, membutuhkan sebuah konstruksi yang ideal agar demokrasi mampu dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan bernegera. Mungkin kita bisa saksikan di beberapa negara yang bisa dikatakan sukses dalam menjalankan sistem demokrasinya, seperti Amerika yang sampai saat ini secara sistem berjalan secara demokratis, kemudian Norwegia, Denmark, dan beberapa negara lainnya. Indonesia adalah negara dengan indeks demokrasi yang termasuk sukses dan mampu menjalankan salah satu gagasan besar tokoh Eropa yaitu Montesquieu yang terkenal dengan teori trias politika (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif). Yang sampai detik ini peran dari ketiga sistem tersebut berkomunikasi dengan baik negara kita, Indonesia. Apakah keistimewaan daripada sistem demokrasi sudah final dan demokrasi adalah satu-satunya sistem terbaik? Tidak. Mengapa? Karena demokrasi terkadang tidak jarang hanya dimanfaatkan dalam meraih kekuasaan, mendiskreditkan atas nama kebebesan, dan saling mengucilkan kerena bedanya status sosial kaya dan miskin. Oleh karenanya kita bisa melihat bahwa demokrasi masih jauh dari sempurna dan membutuhkan gagasan-gagasan transformatif guna mewujudkan nilai-nilainya dan dunia sosial. Tidak cukup kita hanya melaksanakan demokrasi sebagai agenda pemilu saja, menjadikan demokrasi hanya sebatas restrukturisasi kepemimpinan tidak lebih daripada sekedar praktik politis kepentingan kekuasaan, yang pada akhirnya mengabaikan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Di tambah dengan aksesnya ruang publik yang semakin terbuka tanpa sekat, menjadi peluang adanya potensi polemik yang dimulai dengan praktik-praktik saling komentar tanpa kontrol di media sosial, saling mencemarkan nama baik, dan prilaku tidak pantas lainnya. Tentu praktek sosial seperti ini merusak ruang demokrasi kita, bahkan menjadikan tatanan sosial yang sangat buruk. Hal ini mustinya menjadi studi kritis bagi ilmu pengetahuan dan agenda masa depan pendidikan kita, agar demokrasi menjadi tuntunan moral yang mendorong kesadaran untuk melawan segala bentuk prilaku dan tindakan yang mendiskriminasi dan merendahkan eksistensi manusia. Jadi, tidak heran jika indikator terbesar daripada kemajuan suatu negara karena kualitas pendidikan yang diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Tuntunan ilmu pengetahuan dalam ruang pendidikan selalu mengajarkan bahwa kekebasan individu adalah anugerah tuhan yang harus dihargai dan di hormati, dengan orientasi utamanya adalah melepaskan diri dari belenggu ketertindasan untuk menuju kemerdekaan diri. Dari sini demokrasi akan benar-benar dirasakan oleh masyarakat dengan seiring meningkatnya mutu kualitas ilmu pengetahuan didalam laboratorium pendidikan kita dan menjadi budaya dari kehidupan sosial sehari-hari.  Seperti apa yang dikatakan oleh seorang pemikir dari Amerika Serikat John Dawey, “ jika hadirnya demokrasi hanya sebatas abstraksi yang memukau, maka semuanya akan terjebak dalam lingkaran interpretasi yang idealis semata dan lupa bagaimana cara mengaplikasikan nya sebagai laku daripada kehidupan sehari-hari.” Menurut John Dawey lagi, “ demokrasi mempunyai nilai etis yang harus diwujudkan dengan cara praksis seperti halnya persaudaraan, kebebasan, dan kesederajatan. Semua dari nilai etis akan termanifestasi dengan nyata dalam keseharian sosial kita, apabila tuntunan ilmu pengetahuan dijadikan jalan untuk merealisasikannya.” Berangkat dari berbagai tafsir diatas, semuanya sudah selesai kita menyoal posisi demokrasi secara teoritis dan kita sepakat bahwa demokrasi adalah merupakan nilai etis yang harus implementatif dalam praktik sosial sehari-hari dengan berpijak pada ilmu pengetahuan. Selain itu juga menjadi seorang terdidik akan membawa kepada harapan besar bagi terwujudnya nilai-nilai demokrasi itu sendiri dengan membiasakan berfikir kritis, berpartisipatif, menjaga persaudaraan, dan selalu membuka dialog bersama untuk membangun ruang kerja sama.   Editor : Humas Bawaslu Kota Semarang
Tag
Opini