Lompat ke isi utama

Berita

OPINI : MEMBENTUK “BADAN PERADILAN KHUSUS” (BAPERSUS)

Secara konstitusi, karena memakai nomenklatur “badan peradilan”, maka apakah badan peradilan khusus (Bapersus) tersebut, masuk rezim regulasi kekuasaan kehakiman dalam pasal 24 ayat (1), (2), (3) UUD NRI 1945 tentang kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung (MA), ataukah masuk rumpun rezim pilkada pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tentang Pilkada oleh Penyelenggara Pemilu. Oleh karena, nomenklatur “badan peradilan” yang termuat dalam pasal 154 ayat (1), (2), (3), UU No. 10 Tahun 2016, maka secara kelembagaan “badan peradilan” agar terpayungi sebagai dasar hukum, sangatlah penting. Kenapa penting, karena menentukan posisioning struktur hukum (kelembagaan) yang akan berpijak. Meskipun secara nomenklatur bahwa diksi tersebut secara eksplisit dan detail tertuang dalam pasal 154 ayat (1), (2), (3), UU No. 10 tahun 2016, sudah jelas masuk kategori rezim regulasi Pilkada.

Nomenklatur “badan peradilan” ada kaitannya dengan pasal 24 ayat (1), (2), (3), UUD NRI 1945 sebagai rezim peradilan (yudikatif), korelasinya dengan “peradilan” secara eksplisit termuat dalam pasal 157 ayat (1), (2), (3) UU No. 10 tahun 2016, dan dalam norma pasal tersebut, menyebut lembaga negara Mahkamah Konstitusi (MK) yang notabene diatur dalam konstitusi pasal 24 C UUD NRI 1945, sekaligus delegasi kewenangan atributif UU No. 10 Tahun 2016 kepada MK berwenang untuk Memeriksa, Memutus dan Mengadili (3M), sebelum terbentuk badan peradilan khusus (Bapersus) tersebut.

Ketentuan hukum, soal diksi hukum “badan peradilan khusus”, diatur dalam UU N0. 10 Tahun 2016 pada pasal 157 ayat (1), (2), (3), tersebut memberi mandat soal pembentukan badan peradilan khusus sampai maksimal pelaksanaan pemilihan serentak nasional (Piltaknas) pada tahun 2024, jika dalam jangka waktu tersebut belum terbentuk maka ditangani terlebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi untuk menangani sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP).

Leading sektor badan peradilan khusus, menurut pasal 157 ayat (1), (2), (3) UU No. 10 Tahun 2016 adalah fokus menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan (pilkada), hal ini lebih pada obyek perselisihan perolehan hasil pilkada yang berasal dari surat keputusan (SK) penetapan hasil oleh KPU. sedangkan sisi lain, soal core bussines (tugas inti) kelembagaan pada tugas, wewenang, kewajiban (Tukewa) Bawaslu lebih pada mengawasi, mencegah, menindak pelanggaran administrasi, pidana, etik, peraturan lainnya pada proses pilkada dari tahapan ke tahapan agar integritas, kuwalitas, martabat.

Badan peradilan khusus (Bapersus) yang termuat dalam pasal 154 ayat (1), (2), (3) UU No. 10 Tahun 2016 dapat masuk kategori lembaga penegak hukum (law enforcement of election) yang secara khusus untuk menyelesaikan perselisihan penetapan perolehan suara pada tahap akhir proses pemilihan (pilkada). Secara obyek, sudah jelas bahwa perselisihan penetapan perolehan suara yang berupa produk surat keputusan (beschikking) bersifat kongkrit, final, individual terhadap kontestan pilkada. Sedangkan secara domisili hukum kelembagaan, hal ini berkorelasi dengan lingkup daerah (domisili hukum) yang dapat menyelenggarakan pemilihan (pilkada). Jika menggunakan asumsi tersebut, maka kelembagaan (struktur hukum) badan peradilan khusus (Bapersus) dapat dibentuk pada tingkatkan provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur (Pilgub), kabupaten dan kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikot (Pilbup dan Pilwakot). Sedangkan pada tingkatan pusat tidak mengenal pemilihan (pilkada), namun hanya mengenal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu DPR RI dan DPD RI (Pileg dan Pilpres).

Menurut Konstitusi UUD NRI 1945 juncto UU No. 12 Tahun 2011, bahwa secara umum proses pembentukan hukum ada 2 (dua) jalur, yakni bersifat pembentukan hukum (positif legislator) dan pengujian / pembatalan hukum (negative legislator). Berikut sebuah usulan dalam  langkah – langkah pembentukan badan peradilan khusus (Bapersus) dengan menggunakan Jalur political review (positif legislator) merupakan jalan konstitusional untuk mendorong DPR dan Pemerintah agar duduk bersama, membicarakan dan menindaklanjuti pasal 157 ayat (1), (2), (3) UU No. 10 Tahun 2016 terhadap nomenklatur ketentuan membentuk badan peradilan khusus (Bapersus) tersebut. Output dari proses political review (positif legislator) adalah payung hukum yang bersifat teknis dan  implementatif berupa peraturan pemerintah (PP) tentang badan peradilan khusus (Bapersus), didalamnya berisi syarat dan prosedur hukum terhadap panduan hukum untuk pembentukan badan peradilan khusus (Bapersus) yang dimaksud.

Peraturan pemerintah dari hasil political review (positif legislator) tentunya sudah menegaskan terkait karakteristik atas rumpun rezim badan peradilan khusus (Bapersus). Apabila masuk rezim kekuasaan kehakiman maka pelaksana teknis dan implementasi ditangani oleh lembaga yang diatur dalam pasal 24 UUD NRI 1945 sebagai badan kekuasaan kehakiman. Namun, apabila masuk rumpun pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, ada 2 (dua) opsi yang dapat dilakukan, yakni  transpormasi (metamorphosis) dari Bawaslu yang sudah dari awal memang berpengalaman, kredibel dan mahfum dalam menangani proses pemilihan dan pemilu, atau mungkin dapat membentuk semacam panitia seleksi (pansel), dimana pansel berisi oleh komposisi dan orang – orang yang kredibel dan independen untuk membuka pendaftaran (open recruitmen) secara terbuka maupun melakukan penyeleksian (fit and proper test).

Membentuk hukum (norma) dengan Jalur judicial review (negative legislator) merupakan jalan konstitusional untuk memutus atau meminta penafsiran hukum oleh MK terhadap pasal 157 ayat (1), (2), (3) UU No. 10 Tahun 2016, terhadap putusan oleh Mahkamah Konstitusi maka wajib ditindaklanjuti ke DPR atau Pemerintah, secara otomatis menjadi norma hukum positif yang berlaku, hal ini diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang – undangan di Indonesia, disebut dalam pasal 10 ayat (2) berbunyi “Tindaklanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi wajib dilakukan oleh DPR atau Presiden”. Putusan MK memiliki pengaruh kuat terhadap penafsiran hukum, serta dapat memerintah pemerintah dan / atau DPR untuk menindaklanjutinya.

Menurut pendapat penulis, bahwa badan peradilan khusus (Bapersus), lebih tepatnya berasal dari transpormasi (metamorphosis) dari Bawaslu Kabupaten / Kota dan / atau Bawaslu Provinsi, dengan pertimbangan (reasoning), sebagai berikut : (1). Ada irisan kuat dengan Tukewa Bawaslu dalam menjalankan quasi peradilan dalam sidang adjudikasi acara biasa maupun acara cepat dan penanganan proses pelanggaran pidana bersama Sentra Gakkumdu Pemilu / Pemilihan, karena sudah terbiasa membuat putusan-putusan dan perdebatan hukum baik internal saat pleno maupun eksternal dengan lintas institusi (Gakkumdu), (2). Sudah terbekali dengan pembekalan (capacity building) yang ada kaitannya dengan investigasi, klarifikasi, penemuan, kajian hukum awal, kajian hukum akhir, dan praktek peradilan, (3). Memiliki pengalaman dalam menangani berbagai jenis kasus kongkrit pemilihan (pilkada) maupun pemilu, mulai pelanggaran pidana, administrasi, etika, peraturan lainnya, maupun sengketa proses pemilu, (4). Memiliki struktur hukum (kelembagaan) dari berbagai tingkatan (pusat, provinsi, kab/kota, kecamatan, kelurahan, pengawas TPS, (5). Selalu diajari tidak hanya represif (penindakan) saja, tetapi juga pencegahan (preventif) dan kolaboratif (sinergitas) dalam menjalankan Tukewa, (6). Berpengalaman dalam pengawasan dengan model multiperspektif yakni posisi KPU, posisi peserta pemilu, posisi masyarakat, kesemuanya pihak yang diawasi tersebut, dengan diukur dalam standar dan parameter regulasi (peraturan perundang – undangan) yang berlaku, (7). Bawaslu mendapatkan berbagai penghargaan dan prestasi, baik dari luar negeri maupun dalam negeri, terkait dalam menjalankan tugas, wewenang, kewajiban untuk mengawal proses pemilu dan pilkada, demi kuwalitas, martabat, integritas demokratisasi di Indonesia.

Editor : Humas Bawaslu Kota Semarang
Tag
Opini