Lompat ke isi utama

Berita

Penanganan Pelanggaran Pilkada Serentak 2020 di Kota Semarang (Teropong Buletin Edisi-IV)

Tahapan pilkada serentak 2020 dengan menggunakan Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2016 juncto Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 5 Tahun 2020. Dijelaskan, mulai tahapan persiapan, tahapan pemutakhiran daftar pemilih, tahapan pencalonan, tahapan kampanye, tahapan distribusi logistik dan masa tenang, tahapan pemungutan dan penghitungan suara, tahapan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Seluruh tahapan tersebut, dijalankan sekitar 1 (satu) tahun, dalam menjalaninya. Setiap tahapan dalam Pilkada memiliki potensi terjadinya pelanggaran. Namun, posisi pengawas pemilihan memiliki tugas dan kewajiban melakukan pencegahan terlebih dahulu, apabila berpotensi terjadi pelanggaran. Pelanggaran yang berpotensi terjadi, mulai pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana, pelanggaran hukum lainnya, dan pelanggaran etika. Pengertian penanganan pelanggaran adalah mekanisme yang diatur dalam ketentuan yang berlaku, dalam rangka untuk mengetahui kepastian pelanggaran, apabila melanggar, maka dapat dijatuhi sanksi yang berlaku, agar mengandung efek jera kepada pelaku. Pelanggaran administrasi pemilihan adalah pelanggaran yang terjadi karena tidak sesuai syarat, tata cara, mekanisme, prosedur dalam setiap tahapan pilkada, sebagaimana diatur dalam ketentuan berlaku. Pelanggaran tindak pidana pemilihan adalah pelanggaran yang terjadi karena melanggar ketentuan delik formil dan materiil dalam tindak pidana diatur dalam UU pemilihan. Pelanggaran hukum lainnya ialah pelanggaran yang terjadi karena melanggar regulasi diluar regulasi pemilihan (Pilkada). Pelanggaran etika penyelenggara pemilihan adalah pelanggaran yang terjadi karena  penyelenggara pemilihan melanggar sumpah, janji jabatan, dan pacta integritas. Penanganan pelanggaran yang dikerjakan oleh subjek penegak hukum dalam penanganan pelanggaran administrasi pemilihan adalah pengawas pemilihan terdiri Bawaslu Provinsi, Kab/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS. Sedangkan, subjek penegak hukum dalam penanganan pelanggaran tindak pidana pemilihan adalah Sentra Penegakan Hukum Terpadu Pemilihan, terdiri didalamnya Pengawas Pemilihan (Bawaslu Prov/Kab/Kota), Kejaksaan (Tinggi/Kab/Kota), Kepolisian (Daerah/Kab/Kota). Subjek penegak hukum dalam penanganan pelanggaran hukum lainnya adalah pengawas pemilihan (provinsi/kab/kota). Subjek penegak hukum dalam penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan adalah Bawaslu Kab/kota untuk pelanggaran lembaga ad-hoc Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS, serta lembaga ad-hoc Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Subjek pelanggar hukum dalam penanganan pelanggaran adalah pihak - pihak atau aktor - aktor yang melakukan pelanggaran karena melanggar ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang berlaku bagi subyek pelanggar hukum dalam pemilihan, bersumber dari UU Pemilihan, UU non Pemilihan, misalnya UU ASN, Peraturan Pemerintah (PP), PKPU, Peraturan Bawaslu (Perbawaslu), Surat Edaran (SE), Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Walikota (Perwal), dll. Wujud subjek pelanggar hukum dalam pelanggaran administrasi adalah KPU, PPK, PPS, KPPS. Wujud subyek pelanggar hukum dalam pelanggaran tindak pidana pemilihan adalah setiap orang, peserta pemilihan, Partai Politik (Parpol) atau gabungan parpol, KPU, PPK, PPS, KPPS, Bawaslu, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Pengawas TPS, Kepala daerah, ASN, pejabat daerah, dll. Wujud Subjek pelanggar hukum dalam pelanggaran hukum lainnya adalah ASN, TNI, Polri, Kepala Daerah, pendamping desa, dll.  Wujud subyek pelanggar hukum dalam penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan adalah Bawaslu, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS, KPU, PPK, PPS, KPPS. Objek pasal dalam pelanggaran tindak pidana pemilihan yang ditegakkan, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 ada sekitar 43 (empat puluh tiga) pasal tindak pidana pemilihan, mulai pasal 187 A ayat (1) dan (2) tentang politik uang, pasal 187 ayat (1) tentang kampanye diluar jadwal, pasal 71 tentang ASN dalam bertindak dan keputusan merugikan dan menguntungkan salah satu calon, pasal 187 ayat (3) tentang kampanye menggunakan faslitas negara. Objek pasal dalam pelanggaran administrasi pemilihan, berupa produk PKPU tentang rekruitmen lembaga adhoc, PKPU tentang Mutarlih, PKPU tentang Kampanye, PKPU tentang Pungut dan hitung, PKPU tentang Rekapitulasi. Objek pasal dalam pelanggaran hukum lainnya, berupa UU tentang ASN, UU tentang Pemda, UU tentang Polri, UU tentang TNI, UU tentang Desa, UU tentang BUMN/BUMD, dll. Itulah, beberapa pasal - pasal yang menjadi obyek atau landasan dalam melakukan penanganan pelanggaran dalam Pemilihan. Bahwa secara statistik / kuantitatif pelanggaran hukum yang ditangani oleh Bawaslu kota Semarang, secara mandiri maupun bersama Sentra Gakkumdu Pemilihan. Penanganan pelanggaran yang berupa pelanggaran tindak pidana pemilihan, administrasi pemilihan, hukum lainnya, kode etik pemilihan. Penanganan pelanggaran oleh Bawaslu bersama instansi yang terkait, secara spesifik bersumber dalam 2 (dua) hal, yakni laporan dan temuan. Laporan adalah pelapor yang memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk melapor, dibagi menjadi 3 (tiga) yakni WNI yang memiliki hak pilih, peserta pemilihan, dan pemantau pemilihan. Sedangkan, temuan adalah penemu yang berkedudukan sebagai pengawas pemilihan, yang memiliki Tukewa (Tugas, Kewajiban, Kewenangan) dalam menjalankan jabatannya. Bawaslu Kota Semarang melakukan penanganan, secara keseluruhan sebanyak 45 (empat puluh lima) kasus, yang bersumber dari laporan masyarakat sebanyak 2 (dua) kasus, dan temuan sebanyak 43 (empat puluh tigas) kasus. Kategori pelanggaran yang ditangani, meliputi pelanggaran administrasi pemilihan sebanyak 34 (tiga puluh empat) kasus, pelanggaran tindak pidana pemilihan sebanyak 4 (empat) kasus, dan pelanggaran hukum lainnya sebayak 7 (tujuh) kasus. Bahwa sebanyak 45 (empat puluh lima) kasus, keseluruhannya ditindaklanjuti sesuai prosedur dan mekanisme berlaku, dan berkepastian hukum. Bahwa dari 45 (empat puluh lima) kasus tersebut, menghasilkan penanganan meliputi sebanyak 38 (tiga puluh delapan) kasus rekomendasi dan sebanyak 7 (tujuh) kasus dihentikan. Sedangkan, tindaklanjut dari rekomendasi sebanyak 38 (tiga puluh delapan) kasus ditindaklanjuti ke instansi yang berwenang. Sedangkan, dalam penanganan tindak pidana pemilihan sebanyak 4 (empat) kasus yang berhenti pada pembahasan 1 (pertama) dan 2 (kedua) oleh sentra Gakkumdu Pemilihan. Output dari penanganan pelanggaran administrasi pemilihan direkomendasikan ke KPU dan jajarannya, dan output penanganan pelanggaran tindak pidana pemilihan dilakukan pembahasan dalam wadah sentra Gakkumdu Pemilihan, serta output penanganan pelanggaran hukum lainnya dilakukan penerusan ke instansi yang berwenang, dalam hal ini didominasi ke KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara). Demikian hasil dari penanganan pelanggaran oleh Bawaslu Kota Semarang dalam Pilkada serentak tahun 2020. Yang pada akhirnya, menghasilkan kesimpulan bahwa selama penanganan pelanggaran Bawaslu Kota Semarang sudah sesuai prosedur, mekansime, tata cara dari segi hukum materiil dan formil, sehingga sudah menghasilkan kepastian hukum yang jelas dan terukur. Dalam penanganan pelanggaran didominasi penanganan pelanggaran administrasi sebayak 34 (tiga puluh empat) kasus yang ditangani. Peringkat kedua, pelanggaran hukum lainnya, perihal netralitas ASN (aparatur sipil negara), meskipun ada 7 (tujuh) kasus, namun didalamnya terdapat ada 16 (enam belas) oknum ASN yang melanggar netralitas. Yang ketiga, kasus tindak pidana ada 4 (empat) kasus yang ditangani, berhenti pada pembahasan 1 (pertama) ada 3 (tiga) kasus dan pembahasan 2 (kedua) ada 1 (satu) kasus. Rekomendasi yang dapat disampaikan ke pihak terkait. Sebagaimana pengalaman dalam penanganan pelanggaran. Dalam segi substansi hukum, perlu diperkuat dalam harmonisasi dan singkronisasi regulasi, yakni dalam UU Pemilihan, maupun antar Perbawaslu dan PKPU serta peraturan turunan lainnya. Hal ini, berdampak pada penanganan pelanggaran administrasi pemilihan, tindak pidana pemilihan, serta hukum lainnya dalam pemilihan. Segi struktur hukum, perlu adanya aparat penegak hukum baik secara otonom dari pengawas pemilihan maupun sentra gakkumdu didalamnya kepolisian dan kejaksaan. Yang diatur semacam pacta integritas, reward and punishment, kode etik, atau sejenisnya. Hal ini agar mendorong pembentukan struktur hukum sebagai penegak hukum yang memiliki kredibilitas, kapabilitas, serta keterampilan yang memadai dalam rangka penegakan hukum pemilihan. Budaya hukum, bahwa hal ini mendorong budaya hukum yang bergaris lurus dengan penegakan hukum. Misalnya, dalam konteks pembahasan kasus tindak pidana, bahwa tidak ada yang disampingkan. Hal ini, terkesan ada superior (lebih utama) instansi asal dan inferior (tidak utama) forum gakkumdu. Solusi integratif yang bersifat holistik dalam penanganan pelanggaran, sebagai refleksi lokalitas di Pilwakot Semarang. Problem penanganan yang berakar pada aspek substansi hukum, budaya hukum, struktur hukum, faslitas hukum, maka penanganannya pun harus berdasarkan pada  pembenahan aspek tersebut sebagai akar pembenahan ke depan lebih baik lagi.   Penulis : Dr. Naya Amin Zaini, S.H., M.H. (Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kota Semarang) Editor : Humas Bawaslu Kota Semarang  
Tag
Opini