Lompat ke isi utama

Berita

Evaluasi Penanganan Pelanggaran Pemilu 2019 Perspektif Sistem Hukum

Menurut pemikir hukum Lawrence M Friedman dengan teorinya tentang Sistem hukum (legal system), bahwa inti dari teori tersebut sebagai berikut “bahwa efektif atau tidaknya terhadap proses penegakan (penindakan) hukum dipengaruhi (determinasi) oleh struktur hukum (legal structur), substansi hukum (legal substance), budaya hukum (legal cultur)”. Dalam perkembangannya, pemikir hukum dari Indonesia bernama Soerjono Soekanto menambahkan satu indikator lagi yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, yakni sarana dan pra sarana hukum (legal facilities). Sedangkan dalam perspektif pembangunan hukum (law development), selain indikator diatas, ada penambahan indikator yakni pelayanan hukum (law service).

Mengacu pada teori sistem hukum didalamnya adanya variabel yang mempengaruhi (dependen) dan variabel yang dipengaruhi (independen). Variabel yang mempengaruhi terhadap penegakan hukum meliputi struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal subtains), budaya hukum (legal cultur), fasilitas hukum (legal facilities) dan pelayanan hukum (legal service).

Penegakan hukum (law enforcement) sebagai panglima dalam mengatur arah dan orientasi tatanan kehidupan berhukum berlangsung (law order and living order). Penegakan hukum dipengaruhi oleh kehendak cita hukum (rechtsidee) negara ini, sebagai negara hukum (rule of law or rechtsstaat, etc). Secara normatif – ideologis bahwa the founding fathers sudah sejak lama menggariskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat).

Dalam ilmu praktek hukum (legal practice), bahwa penegakan hukum adalah menegakkan hukum materiil (substantive justice) dengan menggunakan hukum formil (hukum acara). Penegakan hukum dengan hukum acara sangatlah penting karena menghindari tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) oleh para pihak pelanggar hukum. Bahwa main hakim sendiri (eigenrichting) merupakan tindakan yang melanggar hukum, karena tidak sesuai koridor hukum yang sebenarnya (due process of law).

Ukuran penegakan hukum (law enforcement) dilihat dari data kuantitatif Bawaslu RI tentang penanganan pelanggaran yang diproses Bawaslu pada tahun 2019, total pelanggaran Pemilu sebanyak 7.299 kasus terdiri dari 392 pelanggaran pidana, 5225 pelanggaran administrasi, 127 pelanggaran kode etik, 758 bukan pelanggaran, 97 pelanggaran masih dalam proses, 709 pelanggaran perundang – undangan lainnya.

Sedangkan, data dari Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, data penindakan pelanggaran dalam pemilu 2019, yang diproses Bawaslu se-Jawa Tengah menyebut total pelanggaran Pemilu sebanyak 577 pelanggaran, yang terdiri dari 179 pelanggaran pidana, 309 pelanggaran administrasi, 7 pelanggaran kode etik, 82 pelanggaran perundang – undangan lainnya.

Dan, data dari Bawaslu Kota Semarang, yang berkaitan dengan penanganan pelanggaran pemilu 2019, di Kota Semarang dari mulai awal tahapan pemilu yaitu pada bulan Agustus 2018 sampai dengan bulan Juli 2019 ini, Bawaslu Kota Semarang menyajikan data penanganan pelanggaran Pemilu sejumlah 45 (empat puluh lima) kasus pelanggaan pemilu, dengan rincian jenis pelanggaran administrasi sejumlah 29 (dua puluh sembilan) kasus (65 %), dugaan pelanggaran pidana sejumlah 10 (sepuluh) kasus (22 %), pelanggaran  terhadap peraturan perundang – undangan lainnya sejumlah 5 (lima) kasus (11 %), pelanggaran terhadap kode etik penyelenggara pemilu sejumlah 1 (satu) kasus (2 %).

Detail data jenis pelanggaran yang ditangani Bawaslu Kota Semarang, meliputi pelanggaran administrasi yang sejumlah 29 (dua puluh sembilan) kasus, dengan rincian, dari unsur calon legislatif (Caleg) sejumlah 19 (sembilan belas) pelanggaran, Caleg tingkatan Kota sejumlah 16 (enam belas) pelanggaran (55 %), Caleg tingkatan RI sejumlah 2 (dua) pelanggaran (7 %), Caleg tingkatan DPD sejumlah 1 (satu) pelanggaran (4 %), dari unsur terlapor KPU dan jajarannya sejumlah 10 (Sepuluh) pelanggaran (34 %). Bahwa dalam jenis pelanggaran administrasi yang menjadi output berupa surat rekomendasi, surat peringatan tertulis, surat himbauan, surat putusan adjudikasi biasa, surat putusan acara cepat.

Jenis pelanggaran pidana yang sejumlah 10 (sepuluh) kasus, dengan rincian dari unsur calon legislatif (Caleg) sejumlah 6 (enam) pelanggaran, Caleg tingkatan Kota sejumlah 4 (empat) pelanggaran (40 %), Caleg tingkatan Provinsi sejumlah 1 (satu) pelanggaran (10 %), Caleg tingkatan RI sejumlah 1 (satu) pelanggaran (10 %), Pejabat Negara sejumlah 2 (dua) pelanggaran (20 %), setiap orang (masyarakat) sebanyak 1 (satu) pelanggaran (10 %), jajaran KPU sebanyak 1 (satu) pelanggaran (10 %). Beberapa subyek hukum yang menjadi pelaku diatas, bahwa gakkumdu memiliki tantangan yang rumit dalam konteks penyamaan pemahaman terhadap kasus pidana pemilu yang ditangani. Berhentinya dalam pembahasan kasus pidana pemilu tersebut, berhenti pembahasan kedua sejumlah 7 (tujuh) pelanggaran (70 %), dan berhenti dalam pembahasan pertama sejumlah 3 (tiga) pelanggaran (30 %). Pembahasan kedua memang memiliki tantangan yang rumit, karena untuk menyamakan pemahaman ketiga (tiga) institusi Bawaslu, Kepolisian Kota Besar Semarang, Kejaksaan Negeri Semarang (three partried). Meskipun berhentinya pembahasan kedua, sikap Bawaslu Kota Semarang menyakini sebenarnya layak untuk ditingkatkan kedalam penyidikan, karena memenuhi unsur hukum, alat bukti yang lebih dari cukup, namun keyakinan tersebut berbeda dengan pandangan dari unsur penyidik kepolisian dan penuntut kejaksaan Gakkumdu Kota Semarang, yang memandang tidak dapat dinaikkan ke penyidikan.

Jenis pelanggaran peraturan perundang – undangan lainnya sejumlah 5 (lima) kasus, meliputi ASN – Kecamatan sebanyak 8 orang (58 %), ASN – Guru sebanyak 3 orang (21 %), ASN – Dosen sebanyak 3 orang (21 %). Bahwa output dalam penanganan jenis pelanggaran peraturan perundang – undangan lainnya, berupa penerusan penanganan pelanggaran ke KASN sebanyak 2 kasus (40 %), dan peringatan tertulis sebanyak 3 kasus (60 %).

Jenis pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu sejumlah 1 (satu) kasus, meskipun 1 (satu) kasus, namun banyak pihak – pihak yang terkait diproses secara kode etik dan diberi sanksi etik. Pemprosesan terhadap jajaran PPK Semarang Selatan sejumlah 5 (lima) orang  dan jajaran PPS Randusari sejumlah 3 (tiga) orang dengan prosentase 67 %. Pemprosesan terhadap jajaran Panwaslucam Semarang Selatan sebanyak 3 (tiga) orang (33 %). Output dalam penanganan untuk PPK Semarang Selatan dan Panwaslucam Semarang Selatan sebanyak 67 % adalah peringatan tertulis, dan penerusan ke DKPP sebanyak 1 (satu) orang (33 %).

Variabel legal subtains (isi hukum) dapat mempengaruhi proses penegakan hukum (law enforcement) termasuk yang ditangani oleh Bawaslu. Bahwa isi hukum dapat dijumpai dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, isi hukum yang terkandung dalam Perbawaslu yang mengatur tentang Pemilu 2019, isi hukum yang terkandung dalam PKPU yang mengatur soal Pemilu 2019. Salah satu contoh isi hukum (substansi hukum) yang terkandung didalam peraturan perundang – undangan kepemiluan yang mempengaruhi ketidakefektifan dalam penegakan hukum kepemiluan (law enforcement of election), misalnya pasal 523 ayat (1) tentang money politik yang dilakukan pada tahapan kampanye, kemudian pasal 523 ayat (2) tentang money politik yang dilakukan pada masa hari tenang, pasal 523 ayat (3) tetang money politik pada hari pemungutan dan penghitungan suara, pasal 515 tentang money politik pada saat pemungutan suara. Bahwa ada 4 (empat) pasal tentang money politik tersebut, ada problem isi hukum bahwa yang dapat dikenai tindak pidana pemilu adalah pihak pemberi, sedangkan pihak penerima tidak dapat dikenai. Salah satu contoh problem isi hukum dalam konteks penegakan hukum, itulah yang menjadi salah satu persoalan tersendiri.

Legal subtains (isi hukum) dalam perspektif hierarki hukum di Indonesia maupun dalam ranah kepemiluan mengenal hierarki hukum, mulai jenjang tertinggi ideologi hukum Pancasila, konstitusi UUD NRI 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Perda. Struktur hukum kepemiluan di Indonesia, setidak – tidaknya pengalaman penanganan pelanggaran hukum di Kota Semarang, yang terkendala substansi hukum. Di Indonesia mengenal hierarki hukum (tingkatan hukum), secara teoritik bahwa antara hukum diatas dengan dibawahnya tidak boleh terjadi benturan (conflict of law), tingkatan hukum di atur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Dalam konteks hierarki hukum kepemiluan masih terjadi persoalan tingkatan hukum, antara hukum diatas dengan dibawahnya tidak terjadi harmonisasi dan sinkronisasi. Misalnya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa dalam penjelasan pasal 284 membolehkan kampanye menggunakan biaya makan, minum, transportasi. Namun, dalam PKPU No. 23 Tahun 2018 tentang kampanye tidak mengatur soal ketentuan tersebut, kemudian KPU RI mengeluarkan SE KPU No. 278/PL.02.4-Kpt/06/KPU/I/2019 mengatur soal biaya – biaya tersebut. Dalam konteks hierarki peraturan perundang – undangan tersebut, menjadi persoalan tersendiri karena tidak adanya harmonisasi dan singkronisasi antar jenjang peraturan perundang – undangan dalam kepemiluan.

Variabel legal cultural (budaya hukum), penegakan hukum pemilu di Kota Semarang, dipengaruhi oleh budaya hukum, khususnya warga masyarakat (rakyat)  di kota semarang. Budaya hukum merupakan cipta, rasa, karsa, turun temurun, yang dilakukan sejak lama oleh daerah tertentu, khususnya di Kota Semarang. Suatu tindakan, perbuatan, cara pandang, kebiasaan yang sudah lama dilakukan oleh warga masyarakat di Kota Semarang, dikatakan hal tersebut sebagai budaya hukum masyarakat Kota Semarang. Budaya hukum masyarakat kota semarang, dapat diukur dari perspektif penegakan hukum terkait berapa banyak masyarakat kota semarang yang berani melaporkan suatu kasus dugaan pelanggaran ke Bawaslu Kota Semarang. Jika dari sekian banyak pelanggaran yang bersumber dari laporan masyarakat masih sedikit, maka budaya hukum untuk melapor, menaati, memberanikan diri masih tergolong perlu ditingkatkan. Jangan sampai budaya hukum bertolakbelakang, mereduksi, melemahkan, proses penegakan hukum, misalnya mendiamkan kasus, menyerah, hukum yang merepotkan diri, apalagi menjadi bagian dari mengacaukan hukum (disorder of law), misalnya menjadi pelaku utama, pelaku pembantuan, turut serta, pelaku intelektual, ikut serta, hal yang berkaitan dengan hukum kepemiluan. Salah satu ukuran kuantitatif terkait penindakan pelanggaran dalam perspektif budaya hukum, dapat diukur dalam pelaporan masyarakat yang berani secara melapor dari total kasus 45 pelanggaran, laporan sebanyak 10 kasus (22,2 %) dan 35 kasus berasal dari temuan (77,8 %).

Variabel legal structur (struktur hukum), penegakan hukum pemilu di Kota Semarang, dipengaruhi oleh struktur hukum. Struktur hukum merupakan perangkat lembaga (institusi) yang diberi wewenang oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku untuk melakukan penegakan hukum (law enforcement). Lembaga yang memiliki proses penegakan hukum kepemiluan, meliputi Bawaslu untuk menegakkan pelanggaran administrasi, per-UU-an lainnya, etika, sengketa dan pidana dalam penegakkannya tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) Pemilu. Forum Gakkumdu didalamnya ada Kepolisian dan Kejaksaan, hal ini dikenal dengan lembaga three partied (tripartite). Wewenang struktur hukum dalam penegakan hukum administrasi, Per-UU-an lainnya, Etika, Sengketa bahwa Bawaslu dapat menjalankan fungsi wewenangnya secara maksimal karena bersifat otonom dan mandiri. Berbeda dengan penegakan hukum pidana pemilu, karena harus mendapatkan kesamaan dalam pandangan dan persetujuan dari Kepolisian dan Kejaksaan.

Variabel legal facilities (sarana dan prasarana hukum), penegakan hukum pemilu dapat dipengaruhi oleh fasilitas dan sarana pra sarana hukum yang ada di kantor – kantor penegakan hukum kepemiluan. Fasilitas kantor yang berkaitan dengan penggunaan sarana pra sarana, fasilitas, instrument dalam penggunaan perangkat penegakan hukum kepemiluan. Varian legal facilities terbagi menjadi 2 (dua) yakni soft legal facilities (perangkat fasilitas  hukum yang lunak), misalnya form – form terkait yang digunakan dalam penanganan pelanggaran pidana, administrasi, per-UU-an lainnya, etika, sengketa, sedangkan yang kedua adalah hard legal facilities (perangkat fasilitas hukum yang keras), misalnya ruangan Gakkumdu, ruangan sidang quasi peradilan, adjudikasi, klarifikasi, dsb

Variabel legal service (pelayanan hukum), pelayanan hukum merupakan pelayanan umum yang berkaitan dengan hukum. Pelayanan hukum kaitan erat dengan hak publik untuk mengetahui perkembangan hukum, proses hukum, hasil dari penanganan hukum. pelayanan hukum bagi sisi pihak yang berkaitan erat dengan hukum, misalnya pihak – pihak yang berperkara, merupakan menjadi basic right (hak dasar) untuk dipenuhinya. Bentuk – bentuk pelayanan hukum yang dilakukan oleh Bawaslu adalah pelayanan terhadap pelaporan dari pelapor, penerbitan status hukum, pengklarifikasian terhadap pihak yang diklarifikasi, penggunaan formulir yang berkaitan dengan laporan, mengunggahan ke website yang berkaitan dengan hak publik, pelayanan terhadap akreditasi pemantau pemilu, pelayanan pencarian berita oleh media, pelayanan wawancara terkait perkembangan kasus yang ditangani.

Kesimpulannya, bahwa penegakan hukum kepemiluan dipengaruhi oleh sistem hukum, sistem hukum didalamnya adanya variabel substansi hukum, budaya hukum, struktur hukum, fasilitas hukum, dan pelayanan hukum, bahwa variabel – variabel tersebut sangat mempengaruhi proses penegakan hukum pemilu, yang memiliki tujuan utama menciptakan keadilan pemilu, berkuwalitas dan bermartabat.

Editor : Humas Bawaslu Kota Semarang

Tag
Opini